Perubahan-perubahan (baik biologis, kognisi, dan emosi) yang terjadi pada remaja disebabkan oleh berbagai faktor. Orang tua, masyarakat, teman sebaya, dan pendidikan masing-masing menyumbang terhadap perubahan tersebut. Salah satu perubahan yang sangat kentara pada remaja adalah perubahan biologis. Ketika menginjak masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan pada beberapa bagian tubuhnya. Perubahan biologis itu menimbulkan ketertarikan bagi lawan jenis seiring perkembangan emosi mereka yang mulai mengenal adanya perasaan cinta dan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan. Penelitian Halpern menunjukkan bahwa perubahan biologis pada masa remaja secara langsung dapat berpengaruh terhadap perikalu seksual remaja yakni meningkatnya dorongan aktivitas seksual (Steinberg, 2011). Meningkatnya dorongan aktivitas seksual dan ketertarikan fisik tersebut seringkali diwujudkan dalam perilaku-perilaku seksual yang mereka lakukan di luar ikatan pernikahan sehingga muncul istilah kenakalan remaja dalam bentuk free sex atau perilaku seks bebas. Seks pranikah adalah masalah yang saat ini paling dominan terjadi di kalangan remaja Indonesia, ada sebanyak 1,3% remaja perempuan dan 4% remaja laki-laki dari usia 15-19 tahun dan 1,4% remaja perempuan dan 11% remaja laki-laki dari usia 20-24 tahun melakukan seks pranikah (The United Nations Population Fund (UNFPA), 2012). Irianto Koes (2014) menyebutkan bahwa perilaku seks bebas remaja merupakan akibat dari kurangnya pendidikan seks dan kurangnya pemahaman remaja atas masalah-masalah lain yang ditimbulkan dari seks bebas. Hal tersebut yang seharusnya menjadi perhatian khusus bagi para orang tua, praktisi kesehatan, dan guru untuk menekan angka terjadinya seks bebas pada remaja melalui pendidikan kesehatan reproduksi sebagai tindakan preventif perilaku seks bebas. Sekolah merupakan salah satu pihak yang dianggap kompeten dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja karena sekolah merupakan tempat yang efektif untuk menyebarluaskan informasi, membentuk sikap, dan mengembangkan keterampilan (Pohan, Hinduan, Riyanti, Mukaromah, Mutiara, Tasya, Sumintardja, Pinxten, & Hospers, 2011). Pendidikan kesehatan reproduksi yang diberikan di sekolah berhubungan dengan penundaan perilaku seksual dan menurunkan angka kehamilan yang tidak diinginkan serta menekan penularan infeksi menular seksual di berbagai negara (Pokharel, Kulczycki, & Shakya, 2006). Pendidikan seks remaja di sekolah merupakan hal fundamental sebagai awal prevensi dalam mengurangi efek negatif dari perilaku seksual remaja (Helwen-Larsen, Andersen, & Plauborg, 2010). Di sekolah, guru merupakan figur yang memiliki otoritas untuk mendidik, mengubah perilaku siswa dan memberikan bimbingan kepada siswa. Fakta tersebut menjadikan guru sebagai pilihan yang tepat untuk memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Namun sayangnya guru di Indonesia belum mempunyai kemampuan yang cukup memadai untuk menyampaikan pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja. Untuk itu, guru harus mendapatkan sebuah pelatihan yang memungkinkan mereka mendapat pengetahuan dan keterampilan dalam menyampaikan materi agar dapat memfasilitasi proses belajar pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswanya dengan baik. Pada 2013, Saraswati & Paramastri mengajukan sebuah program yang disebut “Guru Sahabat Siswa” yang juga diteliti efektivitasnya terhadap penurunan perilaku seks bebas pada remaja. Program “Guru Sahabat Siswa” bertujuan untuk meningkatkan keterampilan guru untuk menjadi fasilitator dalam diskusi kelompok bertemakan kesehatan reproduksi. Dalam Program “Guru Sahabat Siswa,” guru diberi pelatihan oleh fasilitator yang sudah ahli dalam bidang pendidikan kesehatan reproduksi. Pelatihan ini terdiri dari dua bagian: bagian pertama terdiri atas dua hari dengan dua sesi selama 60 menit per sesi setiap hari, bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada guru tentang kesehatan reproduksi bagi remaja. Bagian kedua terdiri atas dua hari dengan dua sesi selama 60 menit per sesi dalam sehari, bertujuan untuk membekali para guru dengan keterampilan menjadi fasilitator dalam diskusi kelompok yang terdiri atas keterampilan mendengarkan aktif, bertanya dan komunikasi verbal dan nonverbal. Setelah diadakan pelatihan, peneliti mengadakan evaluasi dan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar guru merasa pelatihan ini memberi manfaat bagi mereka, khususnya dalam memberi pemahaman mengenai perilaku seksual remaja dan risiko-risikonya. Para guru juga menganggap bahwa psikoedukasi reproduksi oleh guru merupakan cara yang tepat dalam memberi pemahaman kesehatan reproduksi kepada siswa, karena guru adalah orang yang senantiasa bersinggungan langsung dengan siswa dan merupakan partner orang tua dalam mendidik anak. Referensi Saraswati, Rieka Esti & Paramastri, Ira. (2013). Guru sahabat siswa: program kesehatan reproduksi bagi guru. Jurnal Psikologi Volume 40, No. 1, Juni 2013: 71 – 80. Cheetham, Nicole. (2015). Regional module for teacher training on comprehensive sexuality education for East and Southern Africa. UNESCO: International Division of Advocates for Youth. July 2015. Steinberg, L. (2011). Adolescence. New York: McGraw-Hill. Koes, Irianto. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular (Panduan Klinis). Bandung: Alfabeta. Pohan, M.N., Hinduan, Z.R., Riyanti, E., Mukaromah, E., Mutiara, T., Tasya, I.A., Sumintardja, E.N., Pinxten, W.J.L., & Hospers, H.J. (2011). Hiv- Aids prevention through a life-skills school based program in Bandung, West Java, Indonesia: Evidence of Empowerment and Partnership in Education. Procedia Social and Beha-vioral Sciences, 15, 526–530. Pokharel, S., Kulczycki, A., & Shakya, S. (2006). School-based sex education in Western Nepal: Uncomfortable for both teachers and students. Repro-ductive Health Matters, 14(28),156–161. |