Peristiwa proklamasi pada 17 Agustus 1945 telah mejadi tonggak sejarah bagi Indonesia dengan mengumumkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia telah “merdeka”. Namun benarkan negeri ini sudah benar-benar merdeka?, benarkah sudah tidak ada lagi bentuk penjajahan di bumi pertiwi ini?. Ternyata tidak. Negeri ini belum sepenuhnya merdeka, saat ini kita dihadapkan pada keadaan yang memprihatinkan dimana penggunaan dan penyelahgunaan narkoba sudah merebak pada hampir seluruh elemen masyarakat mulai dari artis, pejabat sampai pelajar. Di era modern seperti sekarang ini mendapatkan narkoba bukanlah hal yang sulit karena modus penyelundupan narkoba pun semakin bermacam-macam seperti melalui pipa baja, mainan anak, kaki palsu, dan barang-barang yang tidak diduga lainnya kini juga jadi cara baru penyelundupan narkoba (Jurnal Asia, 2017), disamping itu transaksi peredaran narkoba semakin mudah dengan menggunakan transaksi online. Hal ini menjadikan peredaran narkoba sulit terbendung, karena mudahnya mendapatkan barang haram ini mungkin mereka menjadi lupa dengan dampak dari penyalahgunaan narkoba. Narkoba itu sendiri adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkota, Psikotropika dan Zat Adiktif (Supramono, 2004). Semua istilah ini, baik "narkoba" atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai risiko kecanduan bagi penggunanya. Orang awam menyebut perilaku akibat kecanduan penggunaan narkoba dengan istilah adiksi. Ada dua macam adiksi, yakni adiksi fisik (beberapa jenis obat atau zat akan memengaruhi sistem tubuh sehingga terjadi toleransi/abstinesi; untuk mendapatkan efek yang sama, dosis harus ditingkatkan) dan adiksi psikis (berupa perasaan tidak enak, gelisah, depresi dan gelaja psikis lainnya) (Nevid: 2005). Belakangan ini berbagai peristiwa kriminal yang terjadi pun banyak dipengaruhi oleh dampak dari penyalahgunaan narkoba yang membuat pelaku kehilangn kesadaran dan akal sehat. Mirisnya berdasarkan Hasil survey Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2014 menyebutkan 22% pengguna narkoba di Indonesia merupakan pelajar dan mahasiswa, itu artinya sebagian besar pelaku dari penyalahgunaan narkoba adalah para remaja dan mahasiswa. Lantas apa jadinya negeri ini jika remaja sebagai generasi penerus bangsa yang diharapkan bisa memajukan bangsa justruh akal dan pikiranya sudah diperbudak oleh narkoba, tentu saja akan membawa bangsa ini pada ambag kehancuran. Maka dari itu masalah penyalahgunaan narkoba harus dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Saat ini seolah-olah remaja dijadikan sasaran empuk bagi para pengedar narkoba sehingga tidak heran jika angka tertinggi pelaku penyalahgunaan narkoba ada pada remaja. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, masa remaja sendiri adalah masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa jadi pada masa tersebut rasa ingin tahu dan keinginan coba-coba tinggi, mudah putus asa dan mudah terpengaruh sehingga remaja sangat mudah terjerat pada perilaku menyimpang (Razak dan Sayuti, 2006). Selama masa trasnisis ini pengaruh konformitas terhadap standar teman sebaya khususnya terhadap standar anti sosial mencapai puncaknya (Brown & Larson, 2009: Brown dkk, 2008 dalam Santrock 2011). Disamping itu Stanley Hall (dalam Santrock, 2011) juga menyebutkan bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (strom and stress). Kecenderungan-kecenderungan itulah yang menyebabkan remaja mudah terjerat dalam narkoba. Papalia, at al (2004) juga menyebutkan beberapa faktor yang dapat meningkatkan remaja pada kecenderungan penyalahgunaan narkoba diantaranya yaitu: (1) Pengaruh, seperti hubungan dengan keluarga yang tidak dekat atau bermasalah, konflik keluarga dan kecenderungan genetik terhadap alkohol dan obat-obatan; (2) Penolakan dari teman sebaya; (3) Asosiasi dengan pengguna narkoba; (4) Kegagalan akademis; (5) Pengasingan dan pemberontakan; (6) Sikap pro terhadap pengguna narkoba; (7) Inisiasi penggunaan narkoba lebih awal; (8) Tempramen yang sulit; (9) Kontrol diri yang buruk dan kecenderungan untuk mencari sensasi; (10) Perilaku bermasalah yang menetap. Adakah langkah pencegahan terhadap penyalahgunaan narkoba? Dan siapa sajakah yang perlu terlibat?. Strategi-strategi dalam upaya pencegahan terhadap penyalagnunaan narkoba sangat tepat jika dilakukan di sekolah, karena remaja banyak menghabiskan waktunya di sekolah, disamping itu sekolah merupakan lembaga pendidikan yang memungkinkan adanya kerjasama antara guru, orang tua dan anak. Karena narkoba merupakan masalah yang rumit maka program pencegahan trhadap penyalahgunaan narkoba harus didukung oleh semua pihak. Salah satu program pencegahan penyalahgunaan narkoba yang dapat diterapkan di sekolah yaitu dengan melakukan pelatihan asertif pada peserta didik. Pelatihan aserif itu sendiri adalah program yang bertujuan untuk menumbuhkan sikap asertif pada remaja. Perilkau asertif adalah perilaku dimana remaja mampu memberikan dan menerima afeksi, mampu memberi dan menerima kritik, memberi atau menolak permintaan, mampu mendiskusikan masalah, beragumentasi serta bernegosiasi. Mengapa pelatihan asertif penting bagi remaja?. Perlu kita ketahui bahwa sebanyak 81,3 % perkenalan remaja dengan narkoba berasal dari kelompok pertemanan (Hawari, 2009). Tingginya konformitas pada kelompok menjadikan remaja sulit untuk menolak bujukan, tawaran dan pengaruh dari peer nya meskipun sebenarnya mereka ingin menolak untuk menggunakan narkoba tetapi karena tidak asertif tidak mampu menyampaikan keinginannya dengan baik akhirnyaa mereka terbawa arus narkoba. Maka dari itu sekolah sebagai lembaga pendidikan sangat penting untuk membekali peserta didiknya dengan keterampilan asertif. Pelatihan ini dapat diterapkan di sekolah pada siswa yang duduk di bangku SMP dan SMA. Guru dan orang tua dapat terlibat dalam kegiatan prevensi ini, diharapkan antara guru, orang tua dan siswa dapat terjalin komunikasi yang baik serta terciptanya iklim yang kondusif baik di rumah maupun di sekolah. Adapun materi yang diajarkan dalam pelatihan asertif ini adalah pengenalan diri, penetapan tujuan, perbikir positif, mengelola emosi, dan komunikasi efektif. Materi-materi pada pelatihan asertif ini dikemas dalam metode yang menarik, tidak membosankan namun aplikatif. Sesuai dengan metode yang dikemukakan oleh Sikula (dalam Mangkunegara, 2003), metode yang akan digunakan dalam pelatihan asertivitas adalah Metode Communication Activities, Metode Relaksasi, Metode Studi Kasus, Metode Role Play, Metode Simulations and Games. Kefektifan dari pelatihan asertif pun sudah tidak diragukan lagi, beberapa penelitian menunjukan bahwa kemampuan berkomunikasi secara asertif akan mengarahkan remaja pada berbagai kualitas terpuji seperti kemampuan menghadapi permasalah sosial, tingkat agresivitas berkurang, mencegah remaja merokok, alkohol dan narkoba (Cecen-Erogul & Zenger, 2009). Jadi bisa dikatakan bahwa pengadaan pelatihan keterampilan asertif di sekolah merupakan bentuk perang terhadap narkoba untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa dari jeratan narkoba. Daftar Pustaka A, R., & Sayuti. (2006). Remaja dan Bahaya Narkoba. Jakarta: Persada. BNN. (2016). Hasil Survey Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di 18 Provinsi Tahun 2016. Hawari, & Dadang. (2002). Dalam “Penyalahgunaan & Ketergantungan Naza". Jakarta: FKUI. Jurnal Asia. (2017). Tembak Mati Sudah Tepat. Diakses dari http://www.jurnalasia.com/opini/tembak-mati-sudah-tepat/ pada tanggal 17 Desember 2017. Nevid, J., Rathus, S., & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal Jil 1&2. Jakarta: Erlangga. Papalia, D.E, Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2004). Human Development (9th ed). New York: McGraw Hill Santrock. (2011). Life-Span Development: Perkembangan Masa-Hidup. Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa: Widyasinta Benedictine. Jakarta: Erlangga. |