Masih ingat dengan hebohnya berita pernikahan beda usia 31 tahun antara Syekh Puji dan Ulfa? Berita yang cukup menggemparkan masyarakat Indonesia itu sudah hampir 10 tahun berlalu ternyata. Kabar terakhir yang terdengar adalah pada tahun 2012, pihak Syekh Puji mengajukan permohonan poligami ke pengadilan agama karena Ulfa sudah berusia 16 tahun, yang secara hukum Indonesia sudah sah untuknya menikah. Namun apakah masalah pernikahan dini semacam ini masih banyak terjadi di era milenial ini? Faktanya, berdasarkan hasil survei SUSENAS (Survei Sosioekonomi Nasional) selama tahun 2008-2015, Indonesia memiliki persentase pernikahan dini sebesar 22,8% pada anak yang menikah sebelum berusia 18 tahun dan 1,1% pada pada anak yang menikah sebelum berusia 15 tahun. Jumlah tersebut lebih didominasi oleh anak perempuan. Bahkan secara global terdapat 720 juta anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun (UNICEF, 2016).
Anak perempuan yang menikah dini, apalagi pada usia yang masih terbilang remaja (15 – 18 tahun), mungkin tidak mengetahui apa saja dampak yang akan terjadi pada dirinya kelak. Dampak langsung yang dapat dirasakan oleh si anak adalah hilangnya kesempatan untuk mengemban pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan adanya pernikahan dini juga akan membuat si anak untuk melayani sang suami secara seksual tentunya, namun karena kurangnya pengetahuan anak akan hal ini dapat menimbulkan adanya kekerasan seksual maupun kekerasan fisik terjadi pada diri mereka. Jika sampai terjadi kehamilan pun risiko komplikasi saat kehamilan dan melahirkan yang dapat menyebabkan kematian bagi ibu maupun sang bayi dapat meningkat. Belum lagi dampak timbulnya gangguan mental karena adanya beban psikis ataupun emosi seperti kecemasan hingga depresi, akan selalu membayangi terjadinya pernikahan dini pada anak-anak (UNICEF, 2016; Loaiza & Wong, 2012). Adanya permasalahan ekonomi pada keluarga menjadi penyebab utama dan terbesar mengapa pernikahan dini dilakukan. Keluarga yang kurang mampu akan menikahkan anak perempuannya yang masih berusia dini dengan seseorang yang memiliki kemapanan ekonomi. Hal ini bertujuan agar permasalahan ekonomi di keluarga akan terselesaikan. Akan mengurangi beban keluarga dengan berkurangnya satu anggota keluarga yang diberi makan, akan menerima bantuan materiil berupa uang mahar pernikahan ataupun sumbangan lainnnya, akan menjadikan sang suami sebagai tambahan sumber dana ataupun tenaga yang bekerja bagi keluarga, adalah beberapa alasan lain yang sering diungkapkan. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah hal ini tidak dapat dihentikan? Secara optimistik jawabannya adalah bisa. Namun secara realistik, hal ini akan memakan waktu yang tidak sebentar. Pernikahan dini sendiri sudah menjadi perilaku yang mendarah daging, banyak yang bahkan menjadikannya adat atau tradisi di suatu daerah terlepas dari adanya permasalahan eknomi, sehingga tidak akan mudah untuk menghentikan ataupun menghapuskannya. Tidak mudah bukan berarti tidak mungkin, karena tidak ada yang tidak mungkin di kehidupan ini. Upaya penghapusan pastinya akan berat dilakukan apalagi jika hal ini sudah sering dilakukan. Namun upaya pencegahan masih dapat dilakukan. Pencegahan dilakukan sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Upaya pencegahan sendiri bertujuan untuk mengubah perilaku keluarga yang memiliki motivasi atau niatan menikahkan anaknya yang berusia dini agar tidak jadi melakukannya. Upaya pencegahan untuk mengubah perilaku ini dapat dilakukan mulai dari lapisan kelompok terkecil yaitu lingkungan RT/RW dengan melakukan penyuluhan atau sosialisasi penghapusan pernikahan dini, hingga nantinya akan menyasar kepada kelompok yang lebih besar dengan memunculkan adanya peraturan perundangan yang dapat mengikat dan harus dipatuhi untuk tidak melakukan pernikahan dini pada anak-anak. Dengan mengadopsi empat langkah rangkaian pencegahan yang dinilai efektif untuk mengubah perilaku menurut Gullota (2005), dapat dilakukan suatu proyek jangka panjang untuk penghapusan pernikahan dini. Langkah pertama pencegahan tersebut adalah dengan pemberian edukasi kepada keluarga-keluarga yang memiliki niatan melakukan pernikahan dini. Pemberian edukasi ini dapat dilakukan pada kelompok-kelompok kumpulan warga agar pemberian edukasi berjalan lebih efektif. Edukasi ini dilakukan dengan tujuan untuk menanamkan pengetahuan kepada masyarakat sehingga mereka tidak akan melakukan hal tersebut. Materi yang disampaikan dapat berupa dampak-dampak buruk yang akan terjadi jika pernikahan dini dilakukan sehingga hal ini harus dihentikan. Langkah kedua adalah meningkatkan kompetensi sosial mereka, hal ini dapat dilakukan sebagai langkah lanjutan dari pemberian edukasi. Setelah mengetahui dampak buruk dan bagaimana pernikahan dini tidak akan menghapuskan permasalahan ekonomi mereka begitu saja, mereka diharapkan dapat menginternalisasikan hal-hal yang diberikan itu kepada diri mereka, sehingga mereka tidak akan melakukan pernikahan dini pada anak-anak mereka kelak. Langkah selanjutnya yang ketiga adalah dengan membentuk para pemberi layanan kepada sesama (natural caregiving). Setelah adanya pemberian edukasi, diharapkan mereka menjadi lebih peduli dengan adanya upaya penghapusan pernikahan dini dan tidak melakukan pernikahan dini pada anak-anak mereka. Kemudian mereka juga diharapkan akan menyebarkan kepedulian kepada sekitar mereka sebagai pemberi layanan kepada sesama dalam upaya pencegahan pernikahan dini ini. Edukasi yang awalnya diberikan oleh para ahli nantinya akan diberikan oleh sesama kepada sesama sebagai salah satu bentuk dukungan sosial. Langkah terakhir atau keempat yang dapat dilakukan adalah dengan adanya organisasi komunitas dan sistem intervensi untuk menguatkan gerakan perubahan. Terbentuknya kelompok-kelompok sosial yang peduli terhadap sesama untuk pencegahan pernikahan dini diharapkan akan menguatkan gerakan perubahan perilaku pada masyarakat. Salah satu contoh bentuk upaya yang dilakukan oleh kelompok sosial adalah adanya koalisi 18+ yang merupakan jaringan masyarakat sipil yang melakukan advokasi pengehentian praktik perkawinan anak. Saat ini mereka sedang berusaha menaikkan usia pernikahan untuk perempuan di Indonesia dari 16 tahun menjadi 18 tahun lewat upaya uji materi Pasal 7 (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam perkara 22/PUU/XV/2017 yang sedang menunggu hasil pleno untuk sidang I di Mahkamah Konstitusi (Listiyartai, 2017). Semoga usaha ini dapat berhasil. Rangkaian upaya pencegahan ini diharapkan dapat dilakukan layaknya siklus yang terus menerus dilakukan. Tidak hanya pada suatu kelompok di suatu daerah tertentu, tetapi akan menyebar hingga ke khalayak ramai di seluruh daerah. Tentunya dibutuhkan bantuan pemerintah pula untuk merealisasikan upaya ini hingga dapat terlaksana. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dapat menjadi pilar penyokong utama upaya pencegahan ini dilakukan kepada masyarakat. Terdapat beberapa contoh upaya yang dilakukan pemerintah untuk pencegahan pernikahan dini, salah satunya melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang sudah memasukkan program pencegahan pernikahan usia dini dalam agenda pembangunan nasional. Strateginya antara lain inisiasi kota layak anak, advokasi usia perkawinan 21 tahun, dan mendorong wajib belajar 12 tahun (Listiyartai, 2017). Layaknya kita sebagai warga negara Indonesia terus mendukung adanya upaya-upaya semacam ini agar adanya pernikahan dini yang masih terjadi di Indonesia dapat benar-benar dihapuskan. Karena pada dasarnya mencegah lebih baik dari pada mengobati bukan? Sehingga semua akan indah pada waktunya... :) Daftar Pustaka Gullotta T.P. (2005) Understanding Primary Prevention. In: Gullotta T.P., Adams G.R. (eds) Handbook of Adolescent Behavioral Problems. Springer, Boston, MA. Listiyarti, Retno. (2017). Darurat Perkawinan Anak. Kompas, 25 Juli 2017. Loaiza, E., & Wong, S. (2012). Marrying Too Young - End Child Marriage. Unfpa. Retrieved from https://www.unfpa.org/webdav/site/global/shared/documents/publications/2012/MarryingTooYoung.pdf UNICEF. (2016). UNICEF Indonesia Child Marriage Reserach Brief. Diakses dari https://www.unicef.org/indonesia/UNICEF_Indonesia_Child_Marriage_Reserach_Brief_.pdf pada tanggal 7 Oktober 2017. UNICEF. (2016). CHILD MARRIAGE POVERTY MAKES GIRLS MORE VULNERABLE TO CHILD MARRIAGE, (October), 2016. |